Saya (dulu) Anak Desa

Adhila-Basri

Ingatan tentang Sekolah dasar yang saya cicipi saat masih dikampung bangkit kembali. Membayangkan kacamata setengah wajah serta kuciran dikiri dan kanan kepala. PercayaDiri jangan ditanya,banyak malunya dibanding maunya. Apalagi kalau sudah datang ke kota,makin tenggelam percaya diri ini.
Yap,begitulah mungkin bayangan anak desa zaman dulu. Hidup banyak terkungkung adat istiadat dan sopan santun. Diajarkan untuk selalu menomor satukan moral sosial. Ajaib kami tumbuh dalam lingkungan menyenangkan waktu itu. Menjadi anak yang akan serasa “telanjang” didepan umum,walau hanya jika terlambat menyetel jam malam. Alias terlambat pulang kerumah.
Anak zaman sekarang pasti akan mengerutkan keningnya. Dikungkung kenapa dibilang menyenangkan. Jadi anak desa, senangnya dimana? Jam malam tak leluasa dimana serunya?
Kini tahun telah jauh mendaki. Jangankan kota,desapun sekarang telah mampu menjadi desa tegnologi,desa ini,desa itu dan lain lain. Semuanya jadi luar biasa saat teknologi informasi merajai separuh lebih waktu manusia. Ini sangat bagus sekali. Bagi saya ini tidak menyenangkan.
Waktu untuk berenang di kali kaki bukit jadi tersita karena game. Baik yang online maupun offline. Bersyukur juga sekarang teknologi dalam kacamata tak menambah besar ukurannya. Tak terbayang nanti adik-adik saya malah kacamatanya memenuhi wajah mereka. Lebih besar dari kacamata yang saya pakai. Baca lebih lanjut