Broken

Penulis : Oetep Sutiana

Setiap kali aku memandangnya, setiap kali itu pula, aku merasakan desir hebat yang menyelusup di relung hatiku. Entah, aku tak pernah bisa memungkirinya. Bahwa, rasaku ini adalah rasa yang tak biasa. Aku jatuh cinta padanya. Mungkin saja. Degup jantungku seakan selalu berhenti, bila aku ada di sampingnya.

Anisa Aryanti, nama yang selalu bertamu di malam-malamku. Saatku bermimpi, atau terjaga sekalipun. Wajah pualam dengan mata yang purnama, telah memaksa anak panah Dewi Amor, tertancap tepat di jantungku.

Aku jatuh cinta padanya. Ya, benar-benar mencintainya. Namun, adakah dia akan mengerti atas cintaku? Takut, aku takut untuk mengungkapnya. Butuh beberapa waktu untukku, mengumpulkan keberanian. Belum saatnya. Aku harus sabar menanti saat itu.

Untuk sementara, aku harus menguburnya. Rasa itu. Cinta itu. Jadi pengagum rahasia, sementara kujalani.

Setiap pagi, ketika matahari masih terlelap, kubangun tergesa. Setangkai mawar merah kuletakkan dengan sengaja di depan pintu rumahnya. Walau tak sehebat Kahlil Gibran, aku berusaha mati-matian membuat sebuah puisi cinta, yang kuselipkan di antara setangkai mawar itu. Berharap, dia membacanya.

“Lewat rekah sepasang kelopak mawar, kusampaikan rindu teramat dalamku, kepadamu. Duhai Juwita
Di sela gigil embun ranting cemara
kutulis namamu, sebagai sajak
yang puisi
Menatapmu, dari seberang hati yang paling jantung
Aku mengagumi.”

Aku yang mengagumimu dan mencintaimu diam-diam,
AA

“Dari siapa, nih?” Pagi-pagi sekali Anisa terkaget-kaget mendapati setangkai mawar merah, juga puisi tergeletak di depan pintu.
“Pacar kamu, mungkin, Nis?” Andin–kakanya Anisa, mencoba menebak.
“Aku gak punya pacar, Kak.”
“Oh, I know. Secret Admirer,” ucap kakaku jail.
“Hah! Kira-kira siapa, ya? AA?” Aku mengerutkan dahi. Mencoba mengingat nama-nama teman priaku, siapa tahu mereka. Baca lebih lanjut

Terbaik Untukmu

Cerpen Pemenang Event #CuciGudang1

Penulis : Miiyamii Miiyamii

Copyright © 2014 by miiyamii

“Jangan coba-coba memikirkan itu!” Andi memperingatkan kakak perempuannya yang sejak tadi asik memperhatikan salah satu cowok yang sedang nongkrong bersama teman-temannya di seberang jalan besar di depan rumah mereka.

“Memikirkan apa?” tanya Jehan tak mengerti.

“Aldo. Dari tadi kakak ngeliatin dia kan?” tuduh Andi menyipitkan mata ke arah sang kakak.

“A-apaan sih?” Mendapat tebakan yang tepat dari Andi, Jehan langsung salah tingkah, dia kemudian berpura-pura menyapu teras lagi.

Andi mendengus melihat kelakuan kakaknya. “Sudahlah jangan pura-pura nyapu seperti itu, bohongnya jadi makin kelihatan.”

Jehan merengut, dia menoleh dan memelototi Andi yang kemudian asik duduk bersila di teras sambil memperbaiki senar gitarnya yang putus.

“Dia bukan cowok yang baik kak. Aku pikir kakak sudah tahu tentang hal itu, dia kan teman SMA kakak.”

Jehan mendesah, mengembalikan sapu ke tempatnya, dia lalu ikut duduk bersila di lantai, memperhatikan Andi yang sibuk dengan gitarnya.

“Iya Aldo teman SMA-ku, tapi dia baik kok, sopan, dan nggak pernah kurang ajar.” Setidaknya sama aku, Jehan menambahkan dalam hati.

Andi memutar mata mendengar pembelaan kakaknya. “Tapi kakak tahu sendirikan di desa ini dia dikenal sebagai apa? Berandalan tukang buat onar, sering berkelahi, suka mabuk-mabukan, dan sering bolak-balik kantor polisi.” Baca lebih lanjut

Lovely Shinta

Penulis : Luth Harun

“Duh, susah banget!” sungutku seraya menggenggam Nintendo DS. Ah! Mengapa anak kecil bisa menyelesaikan ini? Sementara aku, yang jelas-jelas lebih tua malah tidak bisa. Lihat tuh, charnya masuk jurang melulu. Argh! Sungguh menyebalkan. Tombol yang sulit ditekan ikut membakar emosi. Eh, tunggu. Apa benar karena tombol? Atau ini karena aku terlalu terobsesi dengan game ini?

Tiba-tiba datang Shinta. Bibirnya meraih daguku. Ah! Nanti dulu! Aku sedang seru, nih! Jangan ganggu! Tetap saja dia tak beranjak. Geli tau. Tak pernahkah kau berpikir kalau aku sedang tidak mood? Tiba-tiba langit-langit terhempas oleh teriakanku.

“Sana!”

Walau tak membuat kaca jendela pecah, tapi itu cukup untuk melangkahkannya pergi. Sebelum dia menghilang di balik pintu kamarku, kami sempat bertumbukan mata. Lenting sempurna. Masa bodoh! Kualihkan kembali ke layar yang menampilkan kesatria. Tanpa sadar sedari tadi orang ini diserang monster-monster kecil.

Sudah jam 6. Kuhentikan dulu gaming-nya. Waktunya sholat maghrib. Saat keluar kamar tak kudapati Shinta. Ah! Mungkin dia sedang di dapur. Saat selesai sholat terasa lapar. Rupanya dia tidak juga di sana. Ke mana? Biasanya kan kami makan bersama.

“Shinta?” Baca lebih lanjut

Brondongku Brondongmu

Penulis : Lia Prasetyaningrum

Pandanganku lurus. Dada ini
bergemuruh. Sakit hati, kecewa, juga
cemburu. Aah, cemburu? Pada pria yang
jadi idola kampus? Bahkan dia pun tak
tahu, ada sosok perempuan yang tengah
menantinya dengan tatapan hampa.
Andai saja aku lahir tidak lebih dulu,
aah….

“Maaf bu, tugasnya mau ditaruh
dimana?” Suara mahasiswa menyeretku
ke alam nyata.

“Oh, taruh saja di meja dulu. Nanti saya
cek. Sekarang saya mau rapat,” kataku.

“Baik, Bu,” jawabnya.

Sang mahasiswa pun berlalu. Tapi pikiran
ini tak mau berlalu. Tetap pada sosok
lelaki di tengah lapang itu. Baca lebih lanjut

Cold Blooded

Penulis : Lara Shina

Kutatap langit, di sana sang rembulan penuh sedang bersinar. Tepat di tengah bulan, yaitu hari ke-15. Riuhan angin semilir dan bayangan langkah mengikutiku dari belakang. Disertai raungan Anjing ramai di seberang sana.

Kulirik arlojiku menunjukan jam 00.05 WIB. Dini hari. Suasana yang sepi membuat bulu kuduk ini berdiri. Berharap jam tengah malam masih ada penduduk yang masih terjaga, agar kubisa menenangkan ketakutan ini.

Setelah beberapa gang kampung Tempel kulewati, kudapati seorang pria sedang duduk di post ronda menikmati sebatang rokoknya. ”Alhamdulillah. Ternyata masih ada orang.” Hati ini terasa lega. Kudekatinya, jarak yang sedikit jauh membuat pandangan ini remang-remang. Ditambah lampu jalanan mati.

”Permisi, Pak? Rumah Pak Prio disebalah mana, ya?” tanyaku dengan suara lembut dan hati-hati. Karena ini pertama kalinya aku datang di sini, untuk menjenguk Paman Prio. ”Apa suaraku yang kurang keras ya? Sehingga Bapak ini tidak mendengarku dengan baik,” gumamku lirih. Kucoba tuk mengulangi pertanyaan yang sama. Namun tak ada jawaban darinya. Ah! Mungkin Bapak ini tuli. Jadi tak mendengar, batinku. Baca lebih lanjut

Dua Menit yang Menentukan

Penulis : Achmad Firdaus ILo

“Lekas cium tuan Putri, Pangeran!” ucap para kurcaci mendesak Pangeran tampan berambut kuning keemasan itu.

Pangeran tampak bingung. Bibirnya maju mundur, seakan berkata cium tidak, cium tidak.

Ah … Dia bukan muhrimku. Mana mungkin aku menciumnya! Dosa.
Apakah tak ada cara lain sebagai penawar racun itu? Batin Pangeran.

Seorang kurcaci menarik-narik baju pangeran. Sebagiannya mendorong-dorong tubuh pangeran agar mendekati tuan putri. “Cium tuan putri, Pangeran! Sebelum terlambat.”

Pangeran mendekati peti kaca tempat sang putri tidur. Perlahan ia buka peti itu. Wajahnya tampak memerah. Beberapa butir keringatnya menghujani beranda peti itu.

“Cepat! Dua menit lagi, Pangeran!” Baca lebih lanjut

Jika Boleh Memilih

Penulis : Bill Adithia Biru

“Hei, daritadi dicariin kemana-mana, rupanya disini. Lagi ngapain?”

Yang disapa melirik tanpa bergerak dari tempatnya pada gadis yang datang.

“Ngeliatin daun Ra, daritadigak ada daun yang jatuh tuh,” jawab gadis yang terbaring di bawah sebuah pohon rindang yang ranting-rantingnya bergoyang tertiup angin. Gadis yang datang menyapa tadi melihat ke atas, ke arah daun-daun yang mengikuti gerak rantingnya sebelum akhirnya ikut berbaring di samping gadis itu.

“Memangnya kenapa?”

“Pengen deh jadi daun itu, lihat! Mereka saling mendukung, saling menguatkan,” jawabnya. Diampun menyela sesaat. Mereka berdua larut dalam pikiran masing-masing.

“Eh, tuh ada yangjatuh!” Ia menunjuk sebuah daun kering yang jatuh di antara daun-daun berwarnahijau.

“Ya, sudah tua soalnya,”jawab Rara. “Rantingnya kuat, tapi daunnya tidak. Sama aja bohong. Sama seperti sebuah hubungan, kalau satu saja yang menguatkan, satunya tidak, hubungan itugak bakal berlangsung lama,” tambahnya melirik ke teman di sebelahnya, gadisitu balas menatapnya.

“Jadi tua itu gak enak deh Ra,”

“Lah, kenapa pula Nis?” Baca lebih lanjut

Gara-Gara Bisul

Penulis : Ainay Eka

***
Oh yeah, jalan terpincang-pincang dari rumah sampai sekolah memang bukan sesuatu yang menyenangkan. Parahnya, hari ini adalah hari Senin, hari di mana upacara bendera rutin dilaksanakan tiap minggunya. Oh, Man! Aku tersiksa oleh kehadiran bisul mengerikan yang tumbuh di ceruk persendian belakang lutut sebelah kanan. Satu bisul membawa petaka di pagi yang cerah.

“Nong, kenapa?” tanya Mbak Selena yang kebetulan melihatku meringis gara-gara bisul sialan ini.

“Anu, Mbaknya, bisulan,” jawabku, masih meringis. Oh, hanya karena sebuah bisul seorang Ainong bisa seperti ini? Benar-benar payah.

“Kok bisa?”

“Ya bisa dong, Mbaknya.”

“Oh. Hati-hati nanti jatuh!” pesan Mbak Selena sebelum berjalan meninggalkanku.

“Iya, Mbaknya,” balasku disertai senyum palsu yang kelewat manis.

Bagus! Gara-gara bisul ini aku jadi dianggap seperti balita yang baru belajar berjalan yang sewaktu-waktu bisa terjatuh tanpa ada pengawasan.

*** Baca lebih lanjut

Untuk Menjadi Saya

Penulis-Bunda

Menjadi diri sendiri sebenarnya pilihan atau arahan  atau anjuran ya? dan untuk menjadi saya itu membanggakan atau tidak sih?
Terkadang kita tidak begitu bangga dengan apa yang kita punya. Hingga tanpa keraguan, kita sadur milik orang lain tentang gaya dan etikanya. Hingga kita bangga disebut-sebut orang, “kamu kaya dia! cantik, tampan, smart dan entah! kaya anu mirip anu..” hingga kita berbunga-bunga. Apalagi jika kita disamakan dengan idola kita, langit seakan meruntuh, karna saking bahagianya.
Padahal jika kita mau berfikir lebih dan lebih tentang kita, kemuliaan benar ada di setiap raga. Ciri dan keahlian yg berbeda telah Tuhan karuniakan kepada kita. Sayangnya, kita tak menyadari itu, kita suka pada kilau apa yang orang lain bawa, budaya, bahasa, nama hingga tanpa sadar kita telah menjadi ‘dia’ bukan menjadi ‘saya’.
Semua tergantikan begitu mudahnya, hanya melalui tatapan mata dan suara, sempurna lah proses canonisasi kita, yang ujung dari semuanya adalah kita tidak suka menjadi ‘aku’ yang apa adanya, tapi memilih ‘kamu’ yang kilau bercahaya. Lalu bahagia dengan memplagiat karya, torehan pena, sampai paradigma. #prihatin

penulis-senandung

Kau mengajariku tentang keindahan
Pada bunga-bunga yang bermekaran dan pada dedaunan yang berjatuhan
Kau mengajariku tentang kebahagiaan
Pada kicauan burung yang berdendang dan pada rinai hujan di musim kemarau

Kau mengajariku tentang  ketulusan
Pada embun yang suci meski hilang tanpa jejak oleh sinar mentari
Kau mengajariku tentang pengorbanan
Pada senja yang berhias jingga mega yang hanya membekas di sore dan hilang ditelan kegelapan

Dan kau pun mengajariku tentang kekuatan
Pada batu karang di tengah lautan yang tak bergeming meski diterjang badai dan gelombang
Lalu mengapa kau tak mengajarkanku tentang kesetiaan
pada dirimu yang selalu ada di sampingku hingga ajal datang