Jeruji besi itu seakan menghalang jejak kakiku di detik ini. Sekalipun aku menendang-nendang sekuat tenagaku, namun aku tak bisa keluar dari tempat ini. Seakan sebuah mimpi besar yang tak bisa kuwujudkan. Dan bagiku sekarang, ini semua adalah bahasa Tuhan untuk mendidikku menjadi manusia sempurna. Karena itulah pintaku sejak lama.
Lampau hari aku merajut mimpi, tuk jadi manusia sempurna dan berkuasa. Minimal untuk kampungku ini. Kulukis seluruh badanku dengan gambar-gambar bertandan. Dengan bisa ular, kalajengking dan sekian vignet yang aku sendiri tak bisa menterjemahkannya.
Setiap pagi kuangkat roda berat tak berporos untuk mencipta ototku. Karena benakku bercakap, orang yang sempurna adalah orang yang tanpa cacat. Tubuh kekar ideal, jabang hitam lekang, rawis tipis dan disempurnakan dengan rambut hitam sebahu. Lalu berjalanlah aku seakan menantang mentari, dengan tubuh berurat penuh isi, tinggi tegap menjadi seorang pahlawan.
Ha.. ha.. ha..
Aku tergelak sendiri, lantas ku lirik Maezo yang sejak tadi diam membeku. Teh manis yang aku siapkan dilibasnya habis. Sementara kepul asal dari batang berbara belum juga mereda. Asapnya masih mengepul kepul seperti cerobong lokomotif kuno. Bedanya, ini digerakkan oleh gelembung-gelembung udara dari paru-paru sementara lokomotif kuno digerakkan oleh pundi-pundi batubara yang jumlahnya sukar dijemarikan.
“Maez.. nurut lo ya.. gimana nih posturku??! mendekati sempurna kan?!” Maezo tak mengalihkan pandang. Ia masih asik pada batang cerutunya.
“Maez.. kamu kagak punya kuping ya?!” Laki-laki itu nyengir saja.
“Ya! kamu hampir sempurna, berbeda denganku yang lahir dengan membawa cacat mati..!! Harusnya kamu banyak syukur Dan..,” Baca lebih lanjut